“Kalau masuk ke dunia politik, berhentilah jadi ustadz,
sebab kalau dipolitik itu, di dalam hati A tapi B yang diucapkan di lidah.” Begitulah kira-kira
ucapan salah seorang warga menanggapi adanya salah seorang tetangganya yang
dianggap ustaz tapi turut ambil bagian dalam ranah politik.
Mungkin pendapat seperti itu tidak hanya dimiliki oleh satu
orang saja, mungkin masih banyak lagi pendapat yang serupa yang tidak
sependapat dengan peran seorang yang dianggap ustaz terjun keranah politik.
Sehingga ada salah seorang bapak-bapak mengungkapkan lebih
baik tidak tercitrakan diri sebagai ustadz dari pada tidak boleh pernah
dibenarkan terjun ke ranah-ranah yang dianggap buruk oleh sebagian masyarakat. “Citrakanlah
diri sebagai seorang muslim, bukan sebagai seorang ustadz,” demikian kira-kira.
Citra sebagai seorang yang bersih, jujur, dan seorang yang baik,
tidak boleh salah, tidak boleh terjun pada ranah-ranah yang dianggap sumber
masalah itu seolah-olah hanya dimiliki oleh ustadz, dan tidak dimiliki oleh
orang lain. Padahal setiap orang punya pilihan peran masing-masing sesuai
pemahaman dan skala prioritas yang danggapnya perlu dan penting untuk diambil. Dan
kejujuran, ketulusan, kebenaran, dan kebaikan hendaknya dimiliki oleh setiap
orang, khususnya setiap muslim.
Bukan hanya seorang uatadz.saja yang harus jujur, tulus dan
bersih, namun setiap muslim juga hendaknya memiliki sikap dan karakter demikian.
Apapun profesinya, baik politisi, guru, pedagang, tukang parkir, karyawan, PNS
dan apapun harus memiliki sikap dan perilaku demikian.
Menjadi muslim bukanlah profesi. Muslim adalah sebuah
identitas yang melekat pada pemeluk agama islam. Dan setiap muslim punya kewajiban
untuk melakukan berbagai kebaikan, melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar,
menebar kebaikan dan mencegah kemungkaran [3:105].
Setiap muslim, dalam rangka melakukan amar ma’ruf dan nahi
mungkar, menyerukan dan mendakwahkan kebaikan serta pengajaran kepada ummat
sering dilabeli atau disematkan prediket sebagai ustdz. Jika demikian setiap muslim itu adalah
ustadz.
Hanya saja tingkat pengetahuan dan pemahaman diantara muslim
yang berbeda-beda membuatnya _secara natural_ mengklasifikasikan prediket
diantara mereka.
Kalau seorang muslim yang secara natural diakui memiliki
pemahaman lebih dari muslim yang lainnya karena ilmu yang dipelajari dan
kemampuannya menyampaikan seruannya dimasyarakat, maka kepercayaan tersebut janganlah dibuat kontradiksi dengan melakukan
sikap ganda.
Sikap ganda tersebut misalnya dengan menerima keberadaannya
sebagai ustadz di tengah-tengah jamaah, atau di masjid kemudian menolaknya di
tengah-tengah realitas politik. Hal itu menunjukkan sikap ganda. Disatu sisi
menerima sedang disisi lain menolaknya.
Padahal seorang muslim yang disematkan padanya predikat
ustadz itu memiliki pemahaman lebih yg sama baik di masjid maupun diparlemen. Disamping
itu penyematan embel-embel ustadz pada seseoarang pada umumnya bukan atas
kemauan atau kehendak dirinya pribadi. Pada umumnya tidak ada seseorang yang
memaksa dirinya harus diakui oleh masyarakat sebagai ustadz, atau meksa orang
lain untuk menyebutnya sebagai ustaz. Sebutan ustadz kepada salah seorang
diakui sebagai sebuah peraturan umumnya dilakukan oleh satri atau murid-murid
di sebuah pondok pesantren.
Sehingga di masyarakat tak ada paksaan untuk menyematkan
sesorang sebagai ustadz. Dimasyarakat penyematan ustadz biasanya terjadi secara
natural. Seseorang yang disebut ustadz itu adalah seorang muslim yang dianggap
lebih faham terhadap masalah ilmu keislaman. Jadi pada dasarnya ustadz itu adalah
sama-sama orang muslim.
Oleh karenanya analisis,
pertimbangan, dan pendapat atas pilihan perannya di parlemen atau di
pemerintahan juga berdasarkan kajian atas kefahamannya sebagai seorang muslim.
Pertimbangnnya dalam memilih peran di parlemen atau pemerintahan tak terlepas
dari aspek pemahamannya dalam konsep ke-islam-an.
Jadi hal ini tak dapat dipisahkan. Jika dia sebelumnya
berusaha menyeru umat melalui mimbar-mimbar masjid, dan ternyata masih susah
ditemuinya solusi dari perbaikan ummat. Kemudian ditemuinya salah satu solusi lain
yang cukup signifikan bagi perbaikan ummat dengan cara memperbaiki pemerintahan
dan pengelolaan negara, maka jangan disalahkan pilihan perannya tersebut. Ia ingin lebih meluaskan diri dalam kancah
perbaikan ummat melalui jalur yang lebih strategis yakni pemerintahan dan
parlemen.
Masalah yang dihadapi masyarakat yang dibahas di atas
mimbar-mimbar masjid agak berbeda dengan masalah-masalah yang dibahas di dalam
ruangan-ruangan kantor pemerintahan dan ruangan-ruangan sidang parlemen.
Biasanya dalam mimbar-mimbar masjid dibahas seputar
masalah-ibadah ibadah magdhah (hamblum minallah), masalah-masalah fikih dalam
ibadah dan madalah-masalah ubudiyah, namun di ruang-ruang sidang dan
kantor-kantor pemerintahan dibahas masalah-masalah sosial kemasyarakatan, masalah-masalah
pembangunan, perbaikan infrastruktur, pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), penguatan
Sumber Daya Manusia (SDM), masalah pengelolaan pasar dan lain sebagainya yang
cukup banyak memenuhi ruang kehidupan manusia.
Nah, kedua sisi masalah-maslah tersebut (Agama dan
kemasyarakatan) merupakan bagian dari keseluruhan masalah umat yang menjadi
tanggung jawab seorang muslim sebagai konsekuensi keislamannya. Karena islam
ingin menjadi rahmat bagi seluruh alam, islam melingkupi seluruh aspek
kehidupan.
Jadi jangan jadi apriori jika ada seorang muslim (orang
islam) yang dianggap dan dipercayai memiliki kefahaman lebih dan kemampuan
lebih oleh orang lain yang turut terlibat dalam parlemen dan pemerintahan.
Bahkan pilihan sikap dan peran tersebut seyogyanya malah perlu didukung sebaik-baiknya
agar mampu memperbaiki kondisi yang ada.
Bentuk dukungan itu bisa melalui banyak hal. Bahkan selalu
mengingatkan agar tetap dalam jalur kebenaran adalah bentuk dukungan yang
sangat baik bagi muslim tersebut. Tradisi saling ingat mengingatkan dalam
kebaikan dan kesabaran [103:3], serta saling menguatkan antar satu sama lain diantara
muslim hendaknya dipraktekkan dengan penuh ketulusan dan tanggung jawab.
Nah, untuk itu diperlukan tradisi saling tabayun (meminta penjelasan) diantara
mereka jika ada hal-hal yang dianggap mengganjal atas sikap atau keputusan
tertentu yg diambil seorang muslim. Apalagi keputusan itu dianggap
kontropersial. Jik terjadi kontropersi kebijakan dalam ranah pemerintahan atau
parlemen perlu ditanya dan diminta penjelasan terlebih dahulu. Karena seaungguhnya
keputusan atau kebijakan yang diambil pasti ada pertimbangannya dan ada
tujuannya dalan rangka menebar kebaikan dan menciptakan kebaikan bersama.
Tabayun dilakukan untuk saling mengingatkan, dan perbaikan
jika ada kesalahan. Demikianlah jika berlaku yang demikian dimasyarakat kita,
maka akan terbentuk harmonisasi antara peran yang diambil oleh seorang muslim
dalam rangka upaya perbaikan umat bersama apapun pilihan peran yang diambil.
Karena seorang muslim pada dasarnya berorientasi pada
kemaslahatan ummat dan ridho dari Allah SWT. Terus kuatkan ukhuwah sesama
muslim, terus saling mengingatkan dan menguatkan dalam rangka amar ma'ruf dan nahi mungkar. Wallohua’lam.
SIKAP GANDA TERHADAP SESAMA MUSLIM
Reviewed by Beni Sumarlin
on
17.28.00
Rating:
Sepakat kak... jazakallah tulisannya, menambah wawasan mengubah cara pandang...
BalasHapusWaiyakum.. Sebenernya tulisanya agak susah dimengerti ya.hehe
HapusIntinya memang ingin menjelaskan kontradiksi sikap thd sesorang muslim.
Masak klo ceramah di masjid diterima dan diakui. Tapi klo jadi politisi ditolak dan tidak dipercayai.
Hehe..
Tulisan lama.
Terimakasih sudah mampir.